MUSEUM ZOOLOGI FRATER VIANNEY


MUSEUM ZOOLOGI FRATER VIANNEY. Jalan Karangwidoro 7, Kecamatan Dau, Malang. Telepon: (0341) 567465, 558965.

August 6, 2006

RADAR MALANG menulis

Filed under: Uncategorized
*Museum Vianney di Desa Karangwidoro yang Terlewatkan
Ada Koleksi Aneka Makhluk Langka

Majalah Merpati Airlines (seharusnya Garuda Indonesia, red) merekomendasikan Museum Vianney sebagai lokasi wisata di Kabupaten Malang yang layak untuk kunjungan turis. Ironisnya, pemkab malah tak tahu.
——————————
Oleh Yani Achmad, RADAR MALANG
——————————-

DESA Karangwidoro, Kecamatan Dau, tak hanya bisa kesohor akibat banjir lumpur saat Lebaran lalu. Ternyata, desa yang terletak sekitar dua kilometer dari pusat Kota Malang itu juga menyimpan sebuah lokasi wisata. Yakni, sebuah museum yang sudah sering jadi agenda wisata turis mancanegara.
Museum Zoologi Frater Vianney itu memiliki ratusan koleksi berbagai jenis benda laut seperti kerang dari dalam dan luar negeri. Ada juga aneka rupa satwa yang diawetkan.
Sebenarnya tidak sulit menemukan lokasi museum ini. Dari Kota Malang ke arah barat. Sampai di pertiagan Dau, jaraknya sekitar 10 km lagi. Letaknya persis di pinggir jalan desa Karanwidoro, di rumah nomor 07. Tepatnya di kawasan gedung Provinsialat Biara Frateran BHK (Bunda Hati Kudus).
Adalah Frater M Clemens BHK yang memiliki ide membuat Museum Vianney tersebut. Nama Vianney diambil dari nama gurunya (Frater Maria Vianney BHK, almarhum, red) yang menjadi guru ilmu hayat (biologi) saat sekolah dulu.
Dari Vianney pula, Clemens termotivasi terus mengembangkan ilmu pengetahuan biologi untuk pendidikan. Salah satunya adalah dengan mengoleksi keperluan pengenalan ragam hayati di dunia untuk berbagai pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
“Sebagian koleksi museum hasil karya mendiang Frater Vianney,” ujar Dadang Tri Pranowo yang ditugasi merawat koleksi museum itu.
Ada delapan rak berukuran besar berada di dalam gedung berlantai dua itu. Dadang juga menjelaskan, ada 100 jenis ular di dunia, tapi yang sering ditemui hanya sekitar 40 jenis. “Di tempat ini ada 20 jenis ular,” terangnya.
Selain itu, ribuan koleksi moluska dan kerang tersimpan rapi. Setiap jenis ditempatkan di wadahnya sendiri-sendiri. Agar memudahkan yang melihat, tiap wadah ditulis jenis kerang dalam bahasa Latin, tahun koleksi, dan asal penemuan.
Juga terdapat koleksi jenis mamalia dan unggas yang sudah diawetkan. Di antaranya, jenis kerang langka dari Laut Flores, yakni nautilus pumpilius. Lalu ular berbisa vipera russeli yang hanya bisa ditemukan di daratan Flores.
Para pengunjung selama ini tidak ditarik karcis. Toh, hanya sejumlah turis dari luar negeri dan beberapa pelajar yang melakukan penelitian dan mencari referensi di lokasi itu.
Mengenai keberadaan museum ini, ada pengalaman kurang mengenakkan dari seorang turis Jepang bernama Hiroko, 35, beberapa waktu lalu. Saat berangkat ke Indonesia, dia membaca Archipelago, majalah pariwisata terbitan Merpati Airlines. (Yang benar Garuda Airlines, sejenis inflight magazine, red).
Di situ disebutkan ada sebuah museum kerang paling lengkap di Indonesia yang terdapat di Malang. Namun, ia kesulitan informasi. Sebab, tidak ada keterangan di mana persisnya museum tersebut. Saat bertanya ke petugas Dinas Pariwisata Kabupaten Malang, mereka malah buta tentang data museum itu.
Namun, rasa penasaran melihat museum tersebut membuat Hiroko tak malu bertanya ke mana-mana. Hingga akhirnya dia menemukan tempat yang dicarinya di Desa Karangwidoro.
Sayangnya, Clemens sudah tinggal di Belanda sebagai wakil pimpinan tertinggi Biara BHK sedunia. Praktis, informasi tentang sejarah koleksi museum itu banyak yang tidak dapat dikorek Hiroko lebih jauh.
Dadang menambahkan, sebenarnya masih ratusan koleksi Clemens yang dititipkan ke beberapa sekolah di Malang untuk kebutuhan pendidikan. Bahkan, Clemens juga punya koleksi rangka manusia. Namun, lagi-lagi keberadaannya hingga kini tidak diketahui.
Sayang memang. (*)


Diliput Majalah MOSSAIK

Filed under: Uncategorized

August 5, 2006

KOMPAS menulis

Filed under: Uncategorized
Koleksi Ratusan Spesimen Konkologi
Oleh Dody Wisnu Pribadi
Museum Zoologi “Frater Vianney BHK” di Jalan Karang Widoro, Malang, memiliki ratusan spesimen konkologi, ilmu hewan kerang- kerangan darat dan laut, serta herpetologi (ilmu tentang biologi ular) dalam keadaan sudah terklasifikasi lengkap. Koleksi yang tergolong langka, bahkan bisa jadi satu-satunya di Indonesia ini, disiapkan museum untuk dikunjungi dan dipelajari oleh pelajar atau masyarakat umum.
Direktur Museum Zoologi (ilmu hewan) Frater M Clemens hari Sabtu (29/07/2006) di Malang menjelaskan, ratusan koleksi museum itu adalah gabungan dari koleksi almarhum gurunya, Frater Vianney. Dia adalah seorang agamawan Katolik berkebangsaan Belanda yang sudah bertugas di Indonesia sejak tahun 1960-an. Koleksi itu ditambah koleksi Clemens sendiri yang adalah murid Vianney.
Koleksi itu meliputi seluruhnya atau 80 famili hewan Mollusca (hewan avertebrata bertubuh lunak) yang ada di Indonesia. Ada ratusan spesimen (bahan koleksi individu tunggal atau beberapa individu) yang sudah teridentifikasi dengan baik oleh kedua orang tersebut. Disumbangkan ke PT
Setelah sebagian koleksi disumbangkan ke perguruan tinggi, Clemens melanjutkan, sejak tahun 1998 koleksi yang terpisah di Malang dan Flores (NTT) berhasil dikumpulkan kembali kemudian mendapat tempat penyimpanan dan gedung yang memadai.
“Setiap tahun ratusan hingga seribuan siswa telah diundang atau datang sendiri berkaryawisata di museum kami. Kami menyelenggarakan paket pembelajaran untuk siswa SMP atau madrasah. Tahun ini saja terhitung sudah 1.500 siswa belajar ke museum,” kata pengelola museum Denise Resianini yang mendampingi Frater Clemens.
Museum kemudian bekerja sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam memamerkan isi museum dan menyelenggarakan sekolah pembelajaran, termasuk untuk 42 guru biologi SMP dan MTs se-Jatim, Sabtu (5/8/2006).
“Tidak banyak disadari bahwa keluarga kerang-kerangan adalah kelompok fauna penting dalam rantai makanan. Meski perannya dalam ekologi belum banyak diketahui, kerang bisa menjadi indikator pencemaran suatu kawasan perairan. Kerang-kerangan sangat tahan pencemaran. Jika kerang sudah mati, kondisi pencemaran sudah sangat buruk,” kata Denise.
Puluhan spesimen (awetan) ular dan ular hidup juga dimiliki museum ini. Sebagai wilayah tropis, Indonesia termasuk negara dengan kekayaan jenis ular terbanyak di dunia, juga jenis primata. Kekayaannya dapat disamakan dengan kekayaan hutan Amazone di Amerika Selatan meski dengan jenis berbeda. (KOMPAS, 31 Juli 2006)

Fr Clemens BHK

Filed under: Uncategorized
Frater Maria Clemens BHK lahir di Solor, Flores Timur, NTT, 25 Agustus 1937. Postulan BHK pada 25 Juni 1961, kaul kekal 7 Juni 1968. Menjabat berbagai tugas kongregasi antara lain guru, overste, magister, vikarius, provinsial, bahkan wakil superior yang mengantarnya ke Belanda dan Kenya. Pria yang fasih beberapa bahasa asing ini juga kutu buku, cinta sains, khususnya zoologi. Kini, Fr Clemens menjadi direktur MUSEUM ZOOLOGI FRATER VIANNEY, guru yang paling ia kagumi. Memberikan diri kepada dunia zoologi, dengan mengelola museum di Karangwidoro 7 Malang, sebagai ungkapan hormatnya kepada sang guru.

Frater Clemens BHK (paling kiri) saat soft opening Museum Zoologi Frater Vianney pada 27 November 2004

Konkologi

Filed under: Uncategorized
Oleh Frater M Clemens BHK
Pada tahun-tahun akhir hidupnya, Frater Maria Vianney BHK [meninggal 5 Maret 1970] mendalami ilmu tentang kulit siput dan kerang. Inilah yang disebut konkologi (conchology): ilmu yang mempelajari cangkang siput dan kerang.
Keasyikannya tidak sekadar berteori dengan mempelajari buku, tapi ia justru terjun langsung ke objek alam kerang dan cangkang. Ia asyik mengumpulkan dan mengoleksi sendiri. Di kala pasang surut ia mencari cangkang yang masih ada binatangnya.
Cangkang yang telah sekian lama dan warna aslinya pudar atau hilang warnanya disingkirkan. Untuk memperoleh siput dan kerang yang hidup di laut dalam, Vianney meminta bantuan orang untuk menyelam.
Sesampai di biara, cangkang dibersihkan dengan mengeluarkan binatangnya dengan menggunakan air. Kemudian cangkang-cangkang itu diklasifikasi menurut famili, genus, spesies, tempat, serta tanggal penemuan. Masing-masing disusun dalam lemari kaca sehingga mudah dipandang saat orang mengadakan penelitian.
Maka, dari Kupang (NTT) saya juga mengirim cangkang kerang dan siput selain reptilia. Saya ditemani buku karangan Fr Vianney berjudul ‘A Field to Shells of the Pacific Coast and Hawaii’. Selama berkarya di Kupang, saya telah mengumpulkan sejumlah cangkang siput, kerang, dan reptilia sebagai koleksi pribadi.
Menjelang kepindahan saya ke Malang, saya menghadap Bapak Djari agar koleksi saya dihadiahkan kepada Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana, Kupang. Beliau pun menerima dengan senang. Ternyata, Gubernur NTT waktu itu, Brigjen El Tari, mengetahui penyerahan kolesi siput itu. Maka, saya mendapat surat ucapan terima kasih dari Gubernur El Tari.
Dan selama kuliah di Unika Atmajaya, Malang, kegiatan unik saya ini terhenti total. Pada 5 Oktober 1970 Fr Vianney meninggal dunia setelah menderita sakit. Bagiku, ini benar duka mendalam. Sungguh suatu kehilangan figur paling terhormat bagiku. Semua niat untuk berkolaborasi dengan beliau bagai layang-layang putus talinya.
Sungguh, almarhum Fr Vianney pekerja keras yang mencurahkan hati dan tenaganya bagi ilmu pengetahuan. Dialah pencinta manusia dan alam. ‘Frater ular’ sungguh dicintai masyarakat yang mengenalnya. Banyak orang turut mengantar beliau ke tempat peristirahatan terakhirnya. Sungguh, dia telah menyatukan manusia dengan alam.
Maka, di depan nisannya tertulis:

HENDAKNYA KITA TENGGELAM DALAM TUHAN TANPA MENINGGALKAN DUNIA.
Almarhum meninggalkan sejumlah koleksi yang selanjutnya diteruskan oleh Fr M Wilfried van Engen. Fr Wilfried yang lahir di Abcoude, Belanda, 22 November 1920, meninggal dunia di Malang pada 13 Juni 2001.

Guru dan Murid

Filed under: Uncategorized
Oleh Frater M Clemens BHK
Direktur Museum Zoologi Frater Vianney, Malang
Mencermati gaya hidup Frater Maria Vianney BHK [penampilan, cara mengajar, kedekatannya dengan sesama, cinta pada ilmu pengetahuan] sangat memesona dan memikat hati. Seluruh gaya hidup beliau berimbas pada saya selaku anak didiknya. Saya kagum dan merasa tertarik.
Dari keterpesonaan inilah, akhirnya seluruh jalan hidup saya mengalir dan bermuara ke sumber dan muara yang dilewati oleh Vianney. Saya akhirnya dengan ikhlas menggabungkan diri dengan Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus (BHK). Pada 1961 saya resmi menjadi anggota kongregasi dalam acara penerimaan dan pengenaan busana (jubah) kebiaraan.
Mulai saat itu namaku yang semula JOHANES DJUANG KEBAN berubah menjadi Frater MARIA CLEMENS BHK. Juni 1963 saya menyelesaikan pendidikan Sekolah Guru A (SGA) dan dipindahkan ke Kupang, Nusatenggara Timur, untuk mengajar di sekolah dasar Katolik yang dikelola oleh Yayasan Swastisari. Sebelum itu, Vianney telah dipindahkan ke Ndao, Ende, Flores, sebagai kepala SGA Ndao.
Rencana mutasi saya ke Kupang ternyata terhambat sulitnya mendapatkan kapal dari Larantuka ke Kupang. Akhirnya, saya disarankan untuk menunggu di Ende, yang selalu disinggahi dua kapal Pelni (KM Rainy dan KM Nanas) secara reguler.
Betapa hati saya berbunga karena akan berjumpa dengan Vianney. Selama saya di Ende, beliau meminjami saya buku tentang ular OPHIDIA JAVANICA. Buku ini karangan beliau sendiri. Saya diminta mempelajari dan meringkasnya untuk dibawa ke Kupang, Pulau Timor.
Akhirnya, pada pertengahan September 1963 dengan KM Nanas saya tiba di Kupang, kota karang. Di sini niat mengoleksi bakat ‘turunan’ itu mulai kuwujudkan.
Kegiatan saya setiap hari Sabtu, sepulang sekolah, ialah bersepeda keluar kota Kupang bersama sejumlah anak SD. Kami memasuki semak belukar sepanjang pesisir pantai atau naik turun bukit kapur. Kegiatan ini memang ekstra repot. Harus membungkukkan tubuh, melirik ke lubang-lubang batu, barangkali di sana buruan-buruan kami sedang istirahat (ular, gecko, atau biawak).
Desember 1963, musim penghujan, tampak alam menghijau permai. Kami menangkap biawak (varanus) yang asyik berkeliaran memangsa laron. Kali ini kami menangkap tiga ekor biawak.
Biawak ini kemudian diteliti. Saya menyimpulkan bahwa ini bukan biawak biasa [umumnya disebut Varanus salvator, yang dagingnya biasa disantap]. Panjangnya mencapai dua meter. [Yang biasa ditangkap di Pulau Timor mencapai 80 cm.] Warna dasar cokelat tua diselingi bintik-bintik kuning. Biawak jenis ini biasa berkeliaran pada musim hujan.
Saya mengalami hambatan dalam proses pengawetan. Bagaimana harus menyuntik, memasukkan formalin 40 persen. Ada usulan bahwa saya berkonsultasi ke kantor Dinas Kehewanan.
Akhirnya, saya berhasil menjumpai Bapak Djari. Selain dekan Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana, Bapak Djari juga menjabat kepala Dinas Kehewanan. Menurut beliau, formalin dapat dibeli di rumah sakit. Dan beliau berjanji membantu penyuntikan varanus.
Akhirnya, saya mulai mengandalkan imajinasi saya. PYTON TIMORENSIS nama yang kuberikan kepada sejenis ular pyton yang saya tangkap di Pulau Timor. Untuk biawak kuberi nama VARANUS TIMORENSIS meskipun saya sendiri menyangsikannya.
Seekor yang telah diawetkan saya kirim kepada Frater Vianney di Ende, Flores. Apa jawaban beliau? Ternyata, menurut Vianney, varanus itu juga terdapat di Australia utara. Sedangkan nama yang kuberikan sangat tepat, katanya.

Tentang Ular

Filed under: Uncategorized
KOBRA
Ular yang paling atraktif jika dikurung. Bagaimana aksinya? Bila anda mendekati kurungannya, ia segera beraksi dengan mengangkat kepala, melebarkan lehernya, lalu menyemburkan air ludah sambil menggoyang-goyangkan badan sebelum ia menyerang.
Dan air liur kobra dapat MEMBUTAKAN MATA musuhnya bila tidak segera ditolong oleh dokter. Pagutan kobra membawa maut, kematian.
VIPERA RUSELII
Juga atraktif. Ular ini mendapat beberapa nama di Indonesia. Bandotan puspo (Jawa), Kramek (Flores Timur), Nipa kuru (Ende, Flores), Blarat (Sikka, Flores)… biasanya selalu melingkar diri dan tidur tenang.
Namun, jika diganggu (disentuh), ia segera bereaksi dengan mengembung dan mengempeskan badannya dengan mengeluarkan bunyi desis yang menakutkan. Hussst… demikian bunyi desisnya, laksana ban mobil yang dikempeskan. Bunyi desisan dapat terdengar sampai jarak 15 meter. Pagutannya segera membawa maut.
ELAPHE RADIATA
Disebut juga ular tikus. Bagian depan badannya bergelung-gelung serupa huruf S agar siap menyergap mangsa.
MAKANAN ULAR
Sebagai binatang penangkap mangsa, ular hanya makan binatang yang dimangsanya sendiri, atau yang baru saja dibunuh sendiri. Maka, Fr Vianney bersama pembantunya secara teratur memberikan makanan–sebulan sekali, bukan setiap hari.
Karena ular senang akan air (basah), maka tempat minumannya harus selalu tersedia air. Apa yang dimakannya? Burung, katak, kadal, ikan, dan ular jenis lain.
BERTUKAR KULIT
Ular adalah makhluk yang bertukar kulit. Saat masih muda peristiwa bertukar kulit lebih sering. Prosesnya sebagai berikut.
Mula-mula kulit moncong dilepaskan dengan menggosokkan pada benda-benda keras. Kulit akan mengelupas ke belakang. Sebelum bertukar kulit, warna kulit yang ada agak kabur dan sisik bening di depan mata agak keputih-putihan.
Saat itu ular tidak banyak bergerak dan nafsu makan pun turun–tidak suka makan. Setelah bertukar kulit, warnanya menjadi cemerlang dan nafsu makan pun kembali seperti semula. Semua proses inh dicatat oleh Vianney dengan sangat cermat.
PENYUNTIKAN DAN PENGAWETAN
Mula-mula ular disuntik dengan cairan formalin dengan takaran 40 persen. Lalu ular dimasukkan ke botol (stoples) yang telah diisi dengan air biasa agar warna kulit ular tetap cemerlang. Cara ini tidak seluruhnya menguntungkan. (Fr Clemens BHK)

Frater Ular

Filed under: Uncategorized
oleh Fr Clemens BHK
“Frater ular!”
Sapaan ini terlontar spontan dari warga yang menyaksikan betapa Frater M Vianney BHK akrab dengan makhluk menjijikan itu. Sebutan ini terkesan unik, dan ditujukan kepada sosok yang unik pula dalam bidang biologi.
Sungguh, beliau adalah biolog tulen. Ia dikenal sebagai herpetologis, artinya ahli ular. Jika demikian, sesungguhnya masyarakat Flores sudah lebih dulu memberinya ‘gelar kehormatan’ dengan menyebutnya ‘frater ular’.
Reptilia yang sangat ditakuti dan menjijikkan bagi masyarakat, justru menjadi sahabat, anak emas, beliau.
Sayalah salah seorang saksi hidup. Fr M Vianney BHK hampir tidak beristirahat siang, lazimnya seorang biarawan sehari-hari. Usai sekolah, sebagai guru, ia mempersiapkan alat penjerat, sepotong bambu, sarung bantal. Ia bersepeda ke luar kota.
Sesampai di tempat tujuan, sepeda disandarkan di pinggir jalan. Beliau pun berkeliling dengan konsentrasi ekstra tinggi di semak-semak belukar untuk mencari ular. Yang dicarinya ular TIDAK BERBISA atau ular yang SANGAT BERBISA. Sebetik pertanyaan: apa yang dirasakannya jika makhluk yang menyerupai ikat pinggang itu tidak ditemukan setelah dicari?” Tidak seorang pun tahu. Namun, dapat dipastikan, betapa bahagia hati Vianney jika yang dicarinya ditemukan.
Ular-ular tangkapan itu diamankan dalam bambu, lalu disumbat, atau dimasukkan dalam sarung bantal dengan ujungnya diikat, sehingga ‘tawanan’ itu tidak melarikan diri. Selanjutnya, dengan santai Vianney bersepeda pulang ke biara dengan hati berbunga. Di sana ular-ular aneka jenis itu diamankan dalam kurungan khusus yang telah disiapkan.
Binatang alam yang memang hidup di habitat terbuka itu terlihat gelisah, syok, atau stres. Tampak kebebasan mereka dibelenggu. Tidak sedikit yang terlihat berontak dan menjadi ganas serta tidak ramah. Inilah momen emas buat Vianney untuk beraksi, melakukan penelitian.

Sekilas Fr Vianney BHK

Filed under: Uncategorized
Oleh Frater M Clemens BHK
Apa arti sebuah nama?
What’s a name?
Nomen est omen?
Wat is een naam?

Frater Maria Vianney adalah seorang berkebangsaan Belanda. Beliau seorang biarawan (rohaniwan) Katolik dari Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus (BHK). JKP van Hoessel, nama pemberian orang tuanya, dilahirkan di Apeldoorn pada 2 Agustus 1908.
Sedari muda dalam gemblengan keluarganya, ia mulai merasakan adanya getaran kalbu, terpanggil untuk hidup membiara. Maka, pada 29 Agustus 1927 ia menggabungkan diri dalam Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus dan memilih nama Frater Maria Vianney–lazim disapa Fr M Vianney BHK.
Sebelum Perang Dunia II, ia diutus berlayar ke tanah misi. Menuju ke sebuah negeri indah di ufuk timur belahan bumi, negeri khatulistiwa, Nusantara, Indonesia. Dan misionaris muda karismatis ini ditugasi untuk berkarya di Malang, kota dingin di Jawa Timur, selanjutnya Ende (Flores tengah), kemudian Larantuka (Flores Timur). Di ketiga kota ini beliau bertugas sebagai guru.
GURU MURID
“Relasi yang terindah di bumi ini ialah relasi antara guru dan murid,” kata Sokrates.
Tahun 1959, saya berstatus siswa Sekolah Guru Atas (SGA) atau Pendidikan Sekolah Guru A. Di taman pendidikan guru ternama inilah, untuk pertama kalinya, saya berjumpa dengan Fr M Vianney. Waktu itu beliau sebagai pejabat kepala sekolah dan juga guru.
Beliau mengajarkan bidang studi ilmu hayat (biologi). Sebelum mengajar, ia telah menyiapkan diri secara cermat dan selektif. Dipilihnya sejumlah pertanyaan tentang ilmu tubuh manusia, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan ilmu kesehatan. Pertanyaan-pertanyaan itu dicatat di papan dan siswa menulis dalam buku catatannya.
Setiap kali masuk kelas, mengajar, Vianney membawa buku-buku pelajaran, termasuk sebatang tongkat kayu. Pada momen-momen tertentu kayu itu ikut ‘berbicara’ (mengajar). Jika tongkat itu dibunyikan berarti semua aktivitas dihentikan. Pandangannya diarahkan kepada setiap siswa secara merata (menyapu). Siswa yang tidak peduli–masih beraktivitas–didekatinya dengan tenang dalam kondisi sabar menanti. Selanjutnya, dalam gaya menarik, penuh wibawa, dijelaskannya satu per satu semua pertanyaan itu. Penjelasan yang singkat dan sarat isi serta mudah dipahami oleh siswa.
Apa yang dibuat Vianney jika kelihatan ada siswa yang mulai lesu? Untuk membangkitkan semangat siswa, ia beberapa kali melemparkan tongkat ke atas dan berusaha menangkapnya dalam gaya seorang mayoret. Atau cara lain: Vianney mulai menggerak-gerakkan gerahamnya sehingga kedua telinganya pun ikut bergerak. Tentu, ini suatu ketrampilan ekstra yang langka, yang tidak dimiliki orang lain.
Setiap akhir suatu pelajaran, Vianney menyumbangkan nasihat kecil kepada anak didiknya. Apa muatan nasihat itu? Motivasi belajar untuk calon guru agar aktif menyiapkan diri sebelum berguru di masyarakat. Carilah buku-buku sumber! Belajarlah secara autodidak! Berinisiatif!
Celakalah, menurut Vianney, jika para calon guru ini hanya berkelakar tentang hal-hal yang sepele.

Pendiri Museum

Filed under: Uncategorized
Oleh Frater Maria Cristoforus BHK
“Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama!” Demikian peribahasa kita.
Hidup, karya, serta kharisma Frater M Vianney BHK telah menjadi sejarah Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus (BHK). Nama beliau tetap hidup, mencuat, dan menantang kita, selaku penerus karya mahaluhur ini.
Syukur, kharisma khusus ini diturunkan dan terpatri indah dalam sanubari seorang mantan anak didiknya, yang sangat mencintai sang gurunya. Dialah Frater M Clemens BHK.
Demikian, lahirlah MUSEUM ZOOLOGI FRATER VIANNEY dari kota Larantuka, Flores Timur, Nusatenggara Timur, dan kini berbinar ceria di kota sejuk, kota pendidikan, Malang, Jawa Timur. Waktu berputar, zaman berganti. Namun, kenangan akan almarhum Fr M Vianney selama hidup dan berkarya, khususnya dalam menapaki nurani kehidupan lewat pasir kehidupan berbakat dalam biologi, tidak akan sirna.
Beruntunglah kita memiliki seorang Clemens yang tidak saja peduli, tetapi justru menampakkan kekhasan dan kepiawaian tersendiri dalam meneruskan, ‘menyalakan’ mercusuar museum ini, sehingga lahirlah sebuah museum yang kita kenal sekarang. Semoga kita semua mampu menghargai semangat juang dan kharisma seseorang.
Yakinlah Saudara, Qui transtulit sustinet, siapa yang menanam akan memetik buahnya.
Conanti nihil divicile est, tak ada kesukaran bagi orang yang bekerja keras.
Scienta ad laborem. Ilmu pengetahuan yang diabdikan dalam karya nyata di tengah masyarakat.





















Get free blog up and running in minutes with Blogsome
Theme designed by Riosoft

Comments